UI Datang Terlambat
By Febrina Maharani
Apa yang muncul di benak kalian jika mendengar kata “UI”? Susah, jauh, mahal, atau bagus kah? If those things ran out from your mind, so you must go here and see what real “UI” is!
UI terlambat muncul di benakku. Bukan penyesalan seperti Cinta Datang Terlambat-nya Maudy Ayunda, tapi UI ternyata sengaja datang terlambat untuk menjawab segala kegundahan hati seorang calon mahasiswa. Saat itu aku sudah kelas XII dan belum terpikir sama sekali tentang langkahku berikutnya setelah lulus. Kuliah? Tentu. Di mana? Belum tahu.
Aku berharap adik-adikku kelas XII maupun di bawahnya tidak mencontoh sikapku yang terlalu santai terkena doktrin “masa-masa indah di SMA”. Awal kelas XII, ruang BK sudah mulai ramai dikunjungi murid-murid kelas XII yang berkonsultasi. Guru-guru memprediksi kemungkinan lolos tidaknya kami dalam SNMPTN Undangan dari nilai kami mulai dari semester I-IV (karena semester V masih berjalan). Selain itu, banyak dari kami mengutarakan kendala-kendala dalam memilih perguruan tinggi.
Aku bersyukur tidak mendapat kendala apapun dalam memilih perguruan tinggi, namun aku bercermin pada teman-teman yang banyak crash dengan orang tuanya agar aku memikirkan baik-baik apa yang aku pilih. Ayah dan mama sangat sabar membimbingku. Mereka cuma berpesan, pilih yang aku suka, percuma jika yang aku pilih dijalani setengah-setengah. Dari situ, aku berusaha mencari segala informasi tentang perguruan tinggi. Aku termasuk orang yang terlambat, tidak tahu banyak tentang perguruan tinggi, fakultas-fakultasnya, jurusan-jurusannya, maupun contoh silabus yang dipaparkan di beberapa website perguruan tinggi. Maka, yang aku lakukan hanyalah fokus mencari informasi akan jurusan yang aku inginkan, Hubungan Internasional.
Awalnya, aku ingin kuliah di salah satu PTN di Surabaya dengan alasan kembali ke kampung halaman Ayah (FYI, I’m a “daddy’s daughter”), dekat dengan rumah Nenek, dekat rumah Jember, dan aku sudah mengenal Surabaya dengan baik. Sejak itu mulailah aku mencari informasi tentang jurusan (yang konon katanya) impian ini. menjadi Duta Besar mungkin adalah cita-cita seseorang yang berkeinginan memasuki jurusan ini, begitu juga aku. Impian ini bertahan kurang lebih sampai semester V berlalu. Setelah itu, banyak hal yang membuatku ragu. Sebenarnya aku sudah berkonsultasi tentang pilihanku dan guru BK menyetujuinya, namun setelah Roadshow Perguruan Tinggi oleh kakak-kakak alumni, aku berpikir dua kali mengapa aku tidak memilih UI jika aku punya kesempatan? Lalu aku coba berkonsultasi lagi dengan memilih jurusan yang sama universitas beda. Tetapi kata BK, passing grade nya tinggi, kuotanya dikit, saingan banyak otomatis peluang sedikit, tapi bagus dan prospek terjamin. Then, what’s your resolution, Sir? In fact, he just said like that and offered different option to me. Aku kira itu semacam mematikan harapan. Maka, sejak kejadian itu aku memilih diam dan sering berbicara dengan orang tuaku saja.
Kekesalan itu tetap ada, bahkan beliau juga mengatakan hal yang sama pada temanku, Anggara. Namun pada akhirnya, aku berhasil memantapkan diri dengan memilih jurusan lain. Ini, Sastra Inggris Universitas Indonesia. Aku sadar banyak jalan menuju Roma. Dan aku juga sadar bahwa Duta Besar ternyata masih cita-cita yang mengambang bagiku. Malah, tiba-tiba aku ingin menjadi Translator Film huahahaha! Pertimbangan lainnya adalah aku tidak perlu membeli kamus-kamus tebal dan buku TOEFL karena aku hanya perlu mewarisi buku-buku ayahku. Dan kembali pada pesan orangtuaku, pilih apa yang kamu suka, dan aku memang suka. Lagipula, aku termasuk orang yang tidak mau ambil resiko besar terhadap apa yang sebelumnya tidak aku ketahui sebagai langkah awalku menentukan sesuatu hal. Dua hal yang sangat memotivasiku untuk masuk UI, yaitu mengunjungi Perpustakaan Pusat UI dan sholat di Masjid Ukhuwah Islamiyah.
Pada hakikatnya jangan terburu-buru mengambil keputusan. Lalu ingat, guru BP / BK bukanlah penentu dari masa depan kalian, tapi Tuhan dan diri kalian sendirilah yang berhak menentukan. BP dan BK hanya sekedar membimbing, bukan menentukan!
“Follow your dreams, they know the way, but make sure your mind drive it carefully”
Aku menghargai kesempatan yang diberikan kepadaku, termasuk memilih empat slot SNMPTN. Setelah dipikirkan matang-matang dalam waktu yang sangat singkat dengan segala resiko yang akan didapat jika diterima di pilihan ke-berapa-pun atau bahkan tidak diterima, mendapat restu dan dukungan dari ayah dan mama, akhirnya aku menekan tombol “FINALISASI” pada tanggal 20 Februari 2013 dengan pilihan UI (Sastra Inggris dan Sastra Perancis), UN… (HI dan Sastra Inggris). Selepas itu, aku fokus belajar untuk UNAS. Empat hari penentuan itu berjalan “lumayan” lancar. Tahun pertama UNAS menggunakan 20 kode soal dengan ujian pembuka yang kurang membawa pengaruh positif untuk hari-hari berikutnya, yaitu mendapat Paket Bahasa Indonesia IPA dengan menunggu keputusan selama setengah jam sebelumnya yang pada akhirnya tetap mengerjakan paket tersebut. Sebulan penuh penantian berlalu, hari itu pengumuman UNAS berlangsung khitmat dan penuh haru, tapi perjuangan ini baru selangkah. Saya belum bangga lulus UN, tapi saya bangga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi impian saya.
Hari itu aku pulang ke rumah nenek di Banyuwangi, sebelumnya mama mampir ke RS Genteng dan aku mulai cemas menunggu pengumuman SNMPTN. Hasil seleksi sebenarnya akan diumumkan pada tanggal 28 Mei, tapi kabar burung yang ternyata kenyataan mengatakan seperti ini:
Setelah sampai di rumah Nenek, aku seperti orang ling-lung. Beberapa saudara mengajakku ngobrol, tapi kata mereka aku sering tidak menyahut (HUAHAHAHA H-3 JAM PENGUMUMAN SNMPTN). Sebenarnya yang membuat beban pikiran bukan keputusan semisal nggak diterima, tapi mau memunculkan niat buat belajar lagi itu yang susah banget. Hal kayak gini yang salah, jadi terkesan terlalu njagakno gitu lah istilahnya. Dan kebetulan setelah UN selesai, aku tidak mengikuti les intensif SBMPTN.
Jadi, bisa bayangkan jika orang yang sama sekali tidak siap menghadapi kebalikan dari harapannya membaca ini?
Mari kuceritakan kronologi pengumuman ini mengubah hidupku. Sore itu pukul 15:30 aku membuka facebook dan mendapati banyak teman-temanku juga online menunggu pengumuman. Aku meminjam PC di Toko Omku sambil membantu melayani pembeli. Saat jam sudah menunjukkan pukul 15:55, mulai banyak komentar pada salah satu post di facebook TOBK Gamabeta 2013 yang mengatakan “tidak lolos seleksi SNMPTN Undangan di UI”. Aku pun mulai cemas, apalagi melihat Satya ternyata tidak diterima juga. Akhirnya aku membuka website penerimaan.ui.ac.id. Di sana sudah ada kolom angka, entah nomor pendaftaran atau NISN. Sialnya, aku memasukkan NISN-ku dan yang keluar adalah kata-kata “Maaf, anda belum lolos seleksi kali ini”. Saat itu rasanya aku tidak dapat mendengar apapun di sekelilingku, rasanya badan kaku semua, entah mau berkata apa. Lalu, aku membuka website SNMPTN dan mulai memasukkan nomor pendaftaranku beserta tanggal lahir. Dan…… gambar seperti di atas lah yang muncul. 😀
Tiba-tiba aku langsung berteriak dan memeluk tante yang saat itu melayani pembeli. Semua orang yang ada di toko ikut merasakan kesenanganku saat itu, mereka juga menyalami dan mengucapkan selamat kepadaku. Dan yang tidak ketinggalan, mama berlari dan memelukku :’D
Tante saat itu berteriak kepada sepupuku, “Dek, Mbak Nonik kuliah ndek Jakarta lho!” Subhanallah, Alhamdulillah Allah memberikan hadiah yang tidak ternilai harganya.
“Uang bukan masalah, tapi tujuan dan semangatmu” – Mama
Satu hal menarik datang dari kelasku (Solitaire). Kelasku memiliki semacam silsilah keluarga (sekedar mainan). Hebatnya, beberapa anggota keluarga kelasku diterima di UI dari berbagai jalur. Dari SNMPTN Undangan ada Aku (anak), Anggara (saudara sepupu), Sherly (tante), dan Nurin (mama), dari jaluk SIMAK ada Haqi (papa) dan Satya (bibik) yang melengkapi keluarga kecil kelas kami. Mimpi? Iya. Semua itu berawal dari pikiran gila kami. Kami bermimpi berangkat bersama-sama kemari untuk daftar ulang, kontrak rumah, dan lain-lain. Meski ada beberapa orang yang tidak diterima di sini, tapi aku bersyukur mereka sudah mendapatkan pilihan yang ternyata lebih dari apa yang mereka harapkan.
So, here I am. Balik ke pertanyaan di awal. Masuk UI susah? Enggak, asal ada usaha (ini klasik, tapi emang bener). UI jauh? Memang. 1000 km dari rumah itu jauh. Mantapkan hati, maka orang-orang tersayangmu di rumah akan terus mendukungmu dalam jarak sejauh apapun kamu. Kuliah di UI dan biaya hidup mahal? SPP per bulan kalian 180.000? Kalikan satu tahun, itu biaya satu semesterku. Biaya hidup mahal bukan alasan. Asrama 200.000/bulan, makanan Jawa Timur plus pedangang-pedagangnya pun masih bertebaran di sini. Bahkan kalau kalian kesepian, ajak ngobrol aja abang-abangnya pake Bahasa Jawa. Biaya makan mahal? Di fakultasku masih ada paket goceng dan kalian bisa makan enak kok, trust me it’s true. UI bagus? Come and see it by your own sight J
Jadi, malam ini, aku duduk di depan meja belajar Kamar Asrama UI E1-121, mengingat momen-momen penentu itu, mengetik susunan kata dan paragraf ini sambil mencoba membagi semangat, dan berharap sedikit pengalaman tak ternilai ini mampu menggugah siapapun yang membacanya.
Sukses itu bukan ketika kamu dapat terbang menggapai impian setinggi-tingginya, tapi ketika kamu telah mendapatkan impianmu dan kamu tertawa bahagia karenanya.
With Gamabeta @ Belakang Rektorat UI
Depok, 24 November 2013 20:01